Kisah Cinta Sepotong Bakwan



Sesuai janji saya kemarin saya akan share kisah cinta ini, semoga sahabat My Friends suka dengan postingan yg saya share ini, trima kasih, langsung saja kita lihat ke TKP.

Ini adalah sebuah kisah cinta. Tapi bukan cinta biasa. Ini adalah cerita tentang aku yang suka bakwan, tentang Mak Siti yang membuat bakwan, dan tentang Diah, anak si pembuat bakwan. Ini adalah sebuah kisah cinta di balik sepotong bakwan.

***

Dari kejauhan warung kecil reyot itu sudah kelihatan. Tapi aku heran, sepertinya tidak ada kepulan asap dari sana, orang apalagi. Apakah Mak Siti tidak jualan? Tumben. Kuparkir mobilku di pinggir jalan, tepat di depan warung Mak Siti. Benar, dia tidak jualan. Tapi mengapa? Bukankah selama ini dia tidak pernah absen? Atau jangan-jangan Mak Siti….sakit?

Mak Siti adalah seorang penjual bakwan yang setiap hari selalu berjualan di warung kecil itu. Aku mengenalnya baru sekitar sebulan yang lalu. Iseng-iseng sepulang dari kampus, aku lewat di jalan tempat Mak Siti berjualan, padahal biasanya aku tak pernah melewati jalan itu. Singkat cerita, aku melihat Mak Siti dan bakwan jualannya. Seleraku langsung terbit. Bakwan adalah makanan favoritku.

Sejak itulah, setiap hari sepulang kuliah aku selalu mampir ke warung bakwan Mak Siti. Sebenarnya setiap makanan yang diawali dengan kata ‘bak’ aku pasti suka, sebut saja bakwan, bakmie, bakpau, bak mandi (he…he…yang ini nggaklah..).

“Nak Zai…tahu tidak?” tanya Mak Siti suatu hari padaku. Saat itu kami hanya bertiga di warung, aku, Mak Siti dan Diah, putri Mak Siti.

“Tidak, Mak!” jawabku sambil tertawa memotong ucapan Mak Siti
Yee… memang belum di kasih tahu.

“Nak Zai-lah pelanggan Mak yang mampir setiap hari ke sini,” lanjut Mak Siti.

“Jadi ceritanya mau ngasih diskon khusus nih, Mak?” Lagi aku tertawa. “habis bakwan buatan Mak enak sih.”

“Tapi, Nak Zai…sepertinya orang yang membeli bakwan Mak yang naik mobil cuma Nak Zai.”

“Lalu kenapa, Mak? Apa nggak boleh? Seharusnya di depan warung Mak buat pengumuman, ‘roda empat dilarang parkir’ atau ‘khusus pejalan kaki’, kan kita jadi tahu, Mak.” Kembali aku tertawa, memang kalau bersama Mak Siti yang ada cuma keceriaan.

“Yah, bukan begitu. Tidak cocok saja kalau orang seperti nak Zai belanja di sini. Maksud Mak….” Mak Siti menggantung ucapannya. Aku tersenyum memandang Mak Siti. Aku mengerti ke mana arah pembicaraannya. Dia pasti bilang kalau aku cocoknya berbelanja di restoran-restoran mewah yang menyuguhkan makanan siap saji.

“Tapi nggak ada salahnya kan, Mak?” ujarku.

“Memang tidak, Mak malahan bersyukur, hanya saja…”

“Sudahlah, Mak. Pokoknya saya suka belanja di sini. Lagi pula bakwan kan asli makanan Indonesia, jadi wajar kalau saya cinta buatan dalam negeri.” Duh…segitunya.

Mak Siti tersenyum mendengar ucapanku. Lalu setelah membungkus pesananku, kuserahkan selembar uang pecahan seratus ribu rupiah. Ragu-ragu Mak Siti menerima uang yang masih terasa tegang itu, baru tadi kuambil di ATM kampus.

“Nak Zai…kembaliannya tidak cukup. Uang kecil saja,” ucap Mak Siti.

“Kembaliannya buat Mak saja.”

“Tapi…” Mata Mak Siti membesar.

“Saya ikhlas kok, Mak.” Lalu aku pamitan pulang. Dari kaca spion mobil kulihat Mak Siti menciumi uang itu beberapa kali. Lalu memeluk Diah yang juga melotot melihat uang itu. Sebenarnya aku memang sengaja memberikan uang itu buat Mak Siti, sebab kemarin kudengar dia mengeluh tentang uang sekolah Diah yang sudah nunggak dua bulan. Padahal Diah sudah kelas tiga SMA, sayang kalau harus berhenti.

Tapi sekarang, ke mana Mak Siti? Penuh tanda tanya aku kembali menaiki mobil. Pulang. Terbayang keheranan Fat (adikku yang sebaya dengan Diah) nantinya begitu melihat aku pulang tanpa membawa bakwan, karena setiap hari aku selalu membawakan dia bakwan buatan Mak Siti.

***

Sudah satu minggu Mak Siti tidak jualan, tentu saja ini menjadi tanda tanya besar buatku. Sudah seminggu aku tidak makan bakwan buatannya. Sebenarnya penjual bakwan di kota ini cukup banyak. Tapi hanya bakwan Mak Sitilah yang bisa memenuhi tuntutan seleraku.

“Ayo… lagi ngelamunin apa?” Fat tiba-tiba menepuk pundakku dari belakang, lalu ikut duduk di sofa, di sampingku.

“Mak Siti, Fat. Sudah seminggu dia tidak jualan.”

“Oo…jadi Abang ingin makan bakwan ya? Fat kan bisa membuatnya?” Aku tersenyum, Fat memang tidak bohong, dia pintar masak, mungkin turunan dari Mama.

“Bukan! Abang khawatir sesuatu terjadi pada Mak Siti, mungkin dia sakit.”

Fat hanya diam mendengar ucapanku.

“Abang tahu rumahnya?”

“Kalau tahu, Abang pasti sudah ke sana.” Kuhembuskan nafas.

***

“Diah…!”

Aku turun dari mobil, mengejar Diah yang berjalan memasuki sebuah jalan kecil. Diah berhenti. Astaga…matanya merah, sepertinya dia baru saja menangis.

“Ada apa, Diah?” tanyaku begitu berada di dekatnya. Dari cerita Mak Siti, aku tahu kalau Diah sebenarnya bukanlah anak kandungnya. Mak Siti secara tak sengaja menemukan Diah yang masih bayi di pinggir jalan sekitar 18 tahun silam. Mak Siti sendiri tak punya anak, sedangkan suaminya meninggal setahun yang lalu karena dihajar massa, ketahuan mencuri. Namun walau bukan anak kandung, Mak Siti sangat menyayangi Diah, begitu juga perasaan Diah pada Mak Siti yang sebenarnya lebih pantas dipanggilnya ‘nenek’.

“Warung Emak, Bang…” Diah kembali menangis.

“Kenapa dengan warungnya? Mak Siti mana?”

“Emak sakit, sudah seminggu.” Persis seperti dugaanku. “Tadi Diah disuruh melihat warung, tapi….” Tangis Diah makin kencang.

“Kenapa Diah?”

“Warungnya …warungnya sudah tak ada lagi. Yang ada hanya bekas-bekas reruntuhan kayunya. Mungkin memang sengaja di gusur, Bang.”

Innalillahi…..aku yakin, pasti warung itu digusur karena areal di belakangnya yang memang kosong akan di bangun sebuah mal. Ya, tentu saja di gusur, kalau Mak Siti punya surat izinnya, maka tentu warung itu akan diganti dan dipindahkan ke tempat lain. Tapi orang seperti Mak Siti, mana dia mengerti urusan surat-surat izin itu?

“Ya sudah, sekarang Mak Siti bagaimana? Nanti warungnya kita pikirkan lagi. Abang janji akan menggantinya.”

Lalu bersama Diah aku beranjak menuju rumahnya. Mobil kuparkir di pinggir jalan, sebab memang jalan yang kami lalui hanyalah sebuah gang sempit.

***

“Bagaimana? Fat setuju?” Kupandangi wajah putih milik Fat, mencoba mencari jawaban di sana sebelum ia mengungkapkannya. Seperti biasa, sebuah senyuman terukir di bibirnya, menandakan ia setuju.

“Fat setuju, tapi….bagaimana dengan Mak Siti?” tanya Fat.

“Insyaallah dia setuju. Abang akan membujuknya.”

“Tapi Abang kan pernah bilang, kalau Mak Siti itu orangnya lain. Dia tidak mau menerima sesuatu begitu saja tanpa dia tak memberikan imbalannya.”

“Benar, tapi kita akan bilang kalau itu sifatnya pinjaman, kalau dia ada rezeki dia bisa menyicilnya, kalau tidak, ya…kita ikhlaskan,” jawabku.

“Satu lagi, Bang..”

“Apa?”

“Sebaiknya warung itu tidak kita dirikan di kompleks perumahan ini,” ujar Fat, membuatku terkejut.

“Kenapa?”

“Mak Siti akan kehilangan pelanggannya, dan itu akan menjadi satu alasan baginya untuk tidak pindah.”

“Justru itu…di sini dia akan mendapatkan pelanggan baru. Bahkan harga bakwannya bisa sedikit dinaikkan, karena kan yang tinggal di sini golongan menengah ke atas. Justru prospek Mak Siti untuk berkembang akan lebih terbuka.” Kukemukakan alasanku.

“Tidak, Bang. Justru jualan Mak Siti di sini tidak akan laku. Lain kalau orang-orang di sini berjiwa seperti Abang.”

“Maksudnya…?” uraian Fat semakin membuatku bingung.

“Abang tahukan, yang tinggal di kompleks ini rata-rata konglomerat, orang-orang berduit. Setahu Fat mereka lebih suka ke restoran-restoran mewah sejenis Mc’D, KFC dan sebagainya.”

“Tapi bakwan Mak Siti kan beda.”

“Memang. Tapi gengsi mereka jauh lebih tinggi. Mereka akan lebih tertarik makanan luar dibandingkan bakwan yang banyak orang mencap sebagai makanan orang-orang kecil. Itu beda kalau jiwa mereka seperti Abang, seperti kita. Abang kan memang lebih tertarik buatan dalam negeri.” Fat tersenyum.

Uraiannya barusan memang benar. Rencananya kami mau mendirikan warung bakwan baru buat Mak Siti di depan rumah, sekalian mau mengajak Mak Siti dan Diah tinggal bersama kami. Mama dan Papa setuju saja, bertambah satu orang lagi pembantu di rumah kata mereka tidak ada masalah. Lagipula rumah yang didiami Mak Siti dan Diah sekarang keadaannya sangat memprihatinkan, tak kalah reyot dibandingkan dengan warung bakwannya dulu.

“Lalu bagusnya di mana?” tanyaku kemudian.

“Tetap di daerah sekitar sana, di mana Mak Siti biasa jualan, Fat rasa itu jauh lebih baik.”

***

Aku berdecak kagum memandangi bangunan mungil yang kini berdiri di depanku. Mak Siti pasti sangat senang menerima hadiah ini. Sebuah rumah kecil yang di depannya tersedia tempat untuk jualan bakwan. Tak sampai satu minggu waktu yang dibutuhkan pekerja itu untuk menyelesaikan bangunan ini. Dan kini, aku sudah tak sabar lagi mengabarkan ini pada Mak Siti, secepatnya aku akan memindahkannya ke sini.

Sejak warungnya yang roboh dulu, Mak Siti memang tak pernah lagi ke sini. Dia menggoreng bakwannya di rumah dan nantinya Diah yang akan menjualnya ke pasar sepulang sekolah. Tapi nanti Mak Siti akan sangat kaget begitu kuajak kemari, sebuah rumah mungil yang sepenuhnya akan menjadi miliknya dan Diah. Mengenai surat-surat izin segala macam, semuanya sudah kuatur.

Sebelum masuk ke mobil, sekali lagi kulihat bangunan itu. Mak Siti …teruslah goreng bakwan-bakwan itu, di sini.

***

Kususuri jalan setapak itu, ini untuk yang kedua kalinya aku ke sini. Dulu bersama Diah sewaktu menjenguk Mak Siti yang sakit, dan kini…aku akan mengabarkan sebuah kabar gembira pada Mak Siti. Tak sabar untuk segera sampai kupercepat langkahku. Kalau bisa, malam ini juga Mak Siti akan mendiami rumah barunya.

“Assalamualaikum…Mak..!” kuketuk daun pintu rumah Mak Siti, kutunggu beberapa saat, namun tak ada tanda-tanda pintu akan dibukakan.

“Assalamualaikum….Mak !” kuketuk lagi. Sunyi, ke mana Mak Siti? Apakah dia ikut jualan ke pasar bersama Diah?

“Mak…” tetap tak ada sahutan. Lalu aku berbalik, pasti Mak Siti ikut berjualan di pasar. Dengan langkah lebar atau lebih cepatnya berlari-lari kecil aku kembali ke mobil, meluncur ke pasar.

Tak sulit bagiku menemukan Diah, karena memang aku sudah tahu di bagian mana dia jualan. Kata Diah, bakwannya sekarang kurang laku dibandingkan yang dulu. Ya, tentu saja, soalnya bakwannya sekarang digoreng di rumah dan setelah beberapa saat tentu saja akan dingin dan pelanggan kurang tertarik, sedangkan yang dulu bakwannya digoreng di tempat.

Diah menoleh dan tersenyum begitu aku mendekat.

“Mau beli bakwan, Bang?” tanyanya. Aku tersenyum. Lalu ku comot salah satu bakwannya dan langsung masuk ke mulut (sebelumnya baca Bismillah, lho). Begitu bakwan itu menyentuh lidahku sejenak aku lupa tujuanku. Tidak peduli dingin atau panas, bakwan bagiku tetap enak.

“Diah, Mak jualan dekat mana?” tanyaku begitu bakwan itu sudah sempurna bercokol di perutku. Kupandang sekeliling. Kalau Mak Siti juga ikut jualan, biasanya dia mengambil tempat yang berbeda dengan Diah.

“Mak di rumah, Bang, kenapa?”

Masya Allah…

“Maksud Diah, Mak Siti tak ikut ke pasar?” Diah menggeleng.

“Sebenarnya tadi mau ikut, tapi Diah larang karena semalam badan Mak panas lagi.”
Astagfirullah, perasaanku jadi tidak enak.

“Diah, cepat kemasi semuanya. Kita pulang!” ujarku setelah beberapa saat.

“Kenapa, Bang?” tanya Diah keheranan, namun begitu dia tetap menuruti perintahku.

***

“Nak Zai…” Mak Siti berujar, lirih. Dia menggenggam tanganku. “Nak Zai, waktu mak tidak lama lagi…”

“Mak, jangan bicara seperti itu.”

“Nak Zai…hanya Diahlah keluarga yang Mak miliki. Dia tak punya siapa-siapa lagi. Mak harap…Nak Zai mau ….menjaganya.”

Ya Allah, kumohon….jangan ambil dulu nyawanya, setidaknya sampai dia melihat rumah itu. Ya Allah…satu per satu bulir-bulir bening mulai mengaliri pipiku. Aku sungguh menyesal, kenapa tadi aku tidak langsung masuk ke rumah Mak Siti? Kenapa aku tidak memeriksa keadaan terkebih dahulu? Kata Mak Siti dia mendengar panggilanku, tapi bibirnya tak sanggup bergerak untuk menjawab, dan sewaktu aku pulang bersama Diah, kami dapati Mak Siti tergeletak, pingsan. Rupanya dia berusaha keluar sewaktu mendengar panggilan dariku.

“Nak Zai….mau kan?”

“Pasti, Mak. Diah… akan aman….. bersama kami.” Aku menjawab terbata. Mak Siti tersenyum, dan beberapa saat kemudian barulah kusadari itu adalah senyumnya yang terakhir.

“Dokterr…!” aku berteriak sekuatnya, suaraku pasti menggema ke seluruh koridor rumah sakit. Seorang dokter dan seorang suster masuk, juga Fat dan Diah yang tadi menunggu di luar.

Dokter itu menghela nafas, lalu menggeleng. Diah yang tahu arti gelengan itu menjerit, histeris, memeluk Mak Siti. Fat pun kulihat tak dapat menahan air matanya.


***

Epilog
Dua bulan setelah Mak Siti Meninggal dunia, Diah menamatkan sekolahnya di SMA dan aku langsung menikahinya. Sampai saat ini, setelah dua orang buah hati kami lahir, Diah tetap setia dengan gorengan bakwannya. Bagaimanapun juga, bakwan-bakwan itu adalah bukti nyata akan cinta kami, yang selalu terselip cinta pada setiap potongannya.

Twitter

Popular Post

Lencana Facebook

SMS Gratis

Widget SMS Gratis

125 x 125 Ad Section

Tatang Foam My Friends. Diberdayakan oleh Blogger.