01.53
Kisah Cinta Sepotong Bakwan
Sesuai janji saya kemarin saya akan share kisah cinta ini, semoga sahabat My Friends suka dengan postingan yg saya share ini, trima kasih, langsung saja kita lihat ke TKP.
***
Dari kejauhan warung kecil reyot itu sudah
kelihatan. Tapi aku heran, sepertinya tidak ada kepulan asap dari sana, orang
apalagi. Apakah Mak Siti tidak jualan? Tumben. Kuparkir mobilku di pinggir jalan,
tepat di depan warung Mak Siti. Benar, dia tidak jualan. Tapi mengapa? Bukankah
selama ini dia tidak pernah absen? Atau jangan-jangan Mak Siti….sakit?
Mak Siti adalah seorang penjual bakwan yang
setiap hari selalu berjualan di warung kecil itu. Aku mengenalnya baru sekitar
sebulan yang lalu. Iseng-iseng sepulang dari kampus, aku lewat di jalan tempat
Mak Siti berjualan, padahal biasanya aku tak pernah melewati jalan itu. Singkat
cerita, aku melihat Mak Siti dan bakwan jualannya. Seleraku langsung terbit.
Bakwan adalah makanan favoritku.
Sejak itulah, setiap hari sepulang kuliah aku
selalu mampir ke warung bakwan Mak Siti. Sebenarnya setiap makanan yang diawali
dengan kata ‘bak’ aku pasti suka, sebut saja bakwan, bakmie, bakpau, bak mandi
(he…he…yang ini nggaklah..).
“Nak Zai…tahu tidak?” tanya Mak Siti suatu hari
padaku. Saat itu kami hanya bertiga di warung, aku, Mak Siti dan Diah, putri
Mak Siti.
“Tidak, Mak!” jawabku sambil tertawa memotong
ucapan Mak Siti
Yee… memang belum di kasih tahu.
“Nak Zai-lah pelanggan Mak yang mampir setiap
hari ke sini,” lanjut Mak Siti.
“Jadi ceritanya mau ngasih diskon khusus nih,
Mak?” Lagi aku tertawa. “habis bakwan buatan Mak enak sih.”
“Tapi, Nak Zai…sepertinya orang yang membeli
bakwan Mak yang naik mobil cuma Nak Zai.”
“Lalu kenapa, Mak? Apa nggak boleh? Seharusnya di
depan warung Mak buat pengumuman, ‘roda empat dilarang parkir’ atau ‘khusus
pejalan kaki’, kan kita jadi tahu, Mak.” Kembali aku tertawa, memang kalau
bersama Mak Siti yang ada cuma keceriaan.
“Yah, bukan begitu. Tidak cocok saja kalau orang
seperti nak Zai belanja di sini. Maksud Mak….” Mak Siti menggantung ucapannya.
Aku tersenyum memandang Mak Siti. Aku mengerti ke mana arah pembicaraannya. Dia
pasti bilang kalau aku cocoknya berbelanja di restoran-restoran mewah yang
menyuguhkan makanan siap saji.
“Tapi nggak ada salahnya kan, Mak?” ujarku.
“Memang tidak, Mak malahan bersyukur, hanya
saja…”
“Sudahlah, Mak. Pokoknya saya suka belanja di
sini. Lagi pula bakwan kan asli makanan Indonesia, jadi wajar kalau saya cinta
buatan dalam negeri.” Duh…segitunya.
Mak Siti tersenyum mendengar ucapanku. Lalu
setelah membungkus pesananku, kuserahkan selembar uang pecahan seratus ribu
rupiah. Ragu-ragu Mak Siti menerima uang yang masih terasa tegang itu, baru
tadi kuambil di ATM kampus.
“Nak Zai…kembaliannya tidak cukup. Uang kecil
saja,” ucap Mak Siti.
“Kembaliannya buat Mak saja.”
“Tapi…” Mata Mak Siti membesar.
“Saya ikhlas kok, Mak.” Lalu aku pamitan pulang.
Dari kaca spion mobil kulihat Mak Siti menciumi uang itu beberapa kali. Lalu
memeluk Diah yang juga melotot melihat uang itu. Sebenarnya aku memang sengaja
memberikan uang itu buat Mak Siti, sebab kemarin kudengar dia mengeluh tentang
uang sekolah Diah yang sudah nunggak dua bulan. Padahal Diah sudah kelas tiga
SMA, sayang kalau harus berhenti.
Tapi sekarang, ke mana Mak Siti? Penuh tanda
tanya aku kembali menaiki mobil. Pulang. Terbayang keheranan Fat (adikku yang
sebaya dengan Diah) nantinya begitu melihat aku pulang tanpa membawa bakwan,
karena setiap hari aku selalu membawakan dia bakwan buatan Mak Siti.
***
Sudah satu minggu Mak Siti tidak jualan, tentu
saja ini menjadi tanda tanya besar buatku. Sudah seminggu aku tidak makan
bakwan buatannya. Sebenarnya penjual bakwan di kota ini cukup banyak. Tapi
hanya bakwan Mak Sitilah yang bisa memenuhi tuntutan seleraku.
“Ayo… lagi ngelamunin apa?” Fat tiba-tiba menepuk
pundakku dari belakang, lalu ikut duduk di sofa, di sampingku.
“Mak Siti, Fat. Sudah seminggu dia tidak jualan.”
“Oo…jadi Abang ingin makan bakwan ya? Fat kan
bisa membuatnya?” Aku tersenyum, Fat memang tidak bohong, dia pintar masak,
mungkin turunan dari Mama.
“Bukan! Abang khawatir sesuatu terjadi pada Mak
Siti, mungkin dia sakit.”
Fat hanya diam mendengar ucapanku.
“Abang tahu rumahnya?”
“Kalau tahu, Abang pasti sudah ke sana.”
Kuhembuskan nafas.
***
“Diah…!”
Aku turun dari mobil, mengejar Diah yang berjalan
memasuki sebuah jalan kecil. Diah berhenti. Astaga…matanya merah, sepertinya
dia baru saja menangis.
“Ada apa, Diah?” tanyaku begitu berada di dekatnya.
Dari cerita Mak Siti, aku tahu kalau Diah sebenarnya bukanlah anak kandungnya.
Mak Siti secara tak sengaja menemukan Diah yang masih bayi di pinggir jalan
sekitar 18 tahun silam. Mak Siti sendiri tak punya anak, sedangkan suaminya
meninggal setahun yang lalu karena dihajar massa, ketahuan mencuri. Namun walau
bukan anak kandung, Mak Siti sangat menyayangi Diah, begitu juga perasaan Diah
pada Mak Siti yang sebenarnya lebih pantas dipanggilnya ‘nenek’.
“Warung Emak, Bang…” Diah kembali menangis.
“Kenapa dengan warungnya? Mak Siti mana?”
“Emak sakit, sudah seminggu.” Persis seperti
dugaanku. “Tadi Diah disuruh melihat warung, tapi….” Tangis Diah makin kencang.
“Kenapa Diah?”
“Warungnya …warungnya sudah tak ada lagi. Yang
ada hanya bekas-bekas reruntuhan kayunya. Mungkin memang sengaja di gusur,
Bang.”
Innalillahi…..aku yakin, pasti warung itu digusur
karena areal di belakangnya yang memang kosong akan di bangun sebuah mal. Ya,
tentu saja di gusur, kalau Mak Siti punya surat izinnya, maka tentu warung itu
akan diganti dan dipindahkan ke tempat lain. Tapi orang seperti Mak Siti, mana
dia mengerti urusan surat-surat izin itu?
“Ya sudah, sekarang Mak Siti bagaimana? Nanti
warungnya kita pikirkan lagi. Abang janji akan menggantinya.”
Lalu bersama Diah aku beranjak menuju rumahnya.
Mobil kuparkir di pinggir jalan, sebab memang jalan yang kami lalui hanyalah
sebuah gang sempit.
***
“Bagaimana? Fat setuju?” Kupandangi wajah putih
milik Fat, mencoba mencari jawaban di sana sebelum ia mengungkapkannya. Seperti
biasa, sebuah senyuman terukir di bibirnya, menandakan ia setuju.
“Fat setuju, tapi….bagaimana dengan Mak Siti?”
tanya Fat.
“Insyaallah dia setuju. Abang akan membujuknya.”
“Tapi Abang kan pernah bilang, kalau Mak Siti itu
orangnya lain. Dia tidak mau menerima sesuatu begitu saja tanpa dia tak
memberikan imbalannya.”
“Benar, tapi kita akan bilang kalau itu sifatnya
pinjaman, kalau dia ada rezeki dia bisa menyicilnya, kalau tidak, ya…kita
ikhlaskan,” jawabku.
“Satu lagi, Bang..”
“Apa?”
“Sebaiknya warung itu tidak kita dirikan di
kompleks perumahan ini,” ujar Fat, membuatku terkejut.
“Kenapa?”
“Mak Siti akan kehilangan pelanggannya, dan itu
akan menjadi satu alasan baginya untuk tidak pindah.”
“Justru itu…di sini dia akan mendapatkan
pelanggan baru. Bahkan harga bakwannya bisa sedikit dinaikkan, karena kan yang
tinggal di sini golongan menengah ke atas. Justru prospek Mak Siti untuk
berkembang akan lebih terbuka.” Kukemukakan alasanku.
“Tidak, Bang. Justru jualan Mak Siti di sini
tidak akan laku. Lain kalau orang-orang di sini berjiwa seperti Abang.”
“Maksudnya…?” uraian Fat semakin membuatku
bingung.
“Abang tahukan, yang tinggal di kompleks ini
rata-rata konglomerat, orang-orang berduit. Setahu Fat mereka lebih suka ke
restoran-restoran mewah sejenis Mc’D, KFC dan sebagainya.”
“Tapi bakwan Mak Siti kan beda.”
“Memang. Tapi gengsi mereka jauh lebih tinggi.
Mereka akan lebih tertarik makanan luar dibandingkan bakwan yang banyak orang
mencap sebagai makanan orang-orang kecil. Itu beda kalau jiwa mereka seperti
Abang, seperti kita. Abang kan memang lebih tertarik buatan dalam negeri.” Fat
tersenyum.
Uraiannya barusan memang benar. Rencananya kami
mau mendirikan warung bakwan baru buat Mak Siti di depan rumah, sekalian mau
mengajak Mak Siti dan Diah tinggal bersama kami. Mama dan Papa setuju saja,
bertambah satu orang lagi pembantu di rumah kata mereka tidak ada masalah.
Lagipula rumah yang didiami Mak Siti dan Diah sekarang keadaannya sangat
memprihatinkan, tak kalah reyot dibandingkan dengan warung bakwannya dulu.
“Lalu bagusnya di mana?” tanyaku kemudian.
“Tetap di daerah sekitar sana, di mana Mak Siti
biasa jualan, Fat rasa itu jauh lebih baik.”
***
Aku berdecak kagum memandangi bangunan mungil
yang kini berdiri di depanku. Mak Siti pasti sangat senang menerima hadiah ini.
Sebuah rumah kecil yang di depannya tersedia tempat untuk jualan bakwan. Tak
sampai satu minggu waktu yang dibutuhkan pekerja itu untuk menyelesaikan
bangunan ini. Dan kini, aku sudah tak sabar lagi mengabarkan ini pada Mak Siti,
secepatnya aku akan memindahkannya ke sini.
Sejak warungnya yang roboh dulu, Mak Siti memang
tak pernah lagi ke sini. Dia menggoreng bakwannya di rumah dan nantinya Diah
yang akan menjualnya ke pasar sepulang sekolah. Tapi nanti Mak Siti akan sangat
kaget begitu kuajak kemari, sebuah rumah mungil yang sepenuhnya akan menjadi
miliknya dan Diah. Mengenai surat-surat izin segala macam, semuanya sudah
kuatur.
Sebelum masuk ke mobil, sekali lagi kulihat
bangunan itu. Mak Siti …teruslah goreng bakwan-bakwan itu, di sini.
***
Kususuri jalan setapak itu, ini untuk yang kedua
kalinya aku ke sini. Dulu bersama Diah sewaktu menjenguk Mak Siti yang sakit,
dan kini…aku akan mengabarkan sebuah kabar gembira pada Mak Siti. Tak sabar
untuk segera sampai kupercepat langkahku. Kalau bisa, malam ini juga Mak Siti
akan mendiami rumah barunya.
“Assalamualaikum…Mak..!” kuketuk daun pintu rumah
Mak Siti, kutunggu beberapa saat, namun tak ada tanda-tanda pintu akan
dibukakan.
“Assalamualaikum….Mak !” kuketuk lagi. Sunyi, ke
mana Mak Siti? Apakah dia ikut jualan ke pasar bersama Diah?
“Mak…” tetap tak ada sahutan. Lalu aku berbalik,
pasti Mak Siti ikut berjualan di pasar. Dengan langkah lebar atau lebih
cepatnya berlari-lari kecil aku kembali ke mobil, meluncur ke pasar.
Tak sulit bagiku menemukan Diah, karena memang
aku sudah tahu di bagian mana dia jualan. Kata Diah, bakwannya sekarang kurang
laku dibandingkan yang dulu. Ya, tentu saja, soalnya bakwannya sekarang
digoreng di rumah dan setelah beberapa saat tentu saja akan dingin dan
pelanggan kurang tertarik, sedangkan yang dulu bakwannya digoreng di tempat.
Diah menoleh dan tersenyum begitu aku mendekat.
“Mau beli bakwan, Bang?” tanyanya. Aku tersenyum.
Lalu ku comot salah satu bakwannya dan langsung masuk ke mulut (sebelumnya baca
Bismillah, lho). Begitu bakwan itu menyentuh lidahku sejenak aku lupa tujuanku.
Tidak peduli dingin atau panas, bakwan bagiku tetap enak.
“Diah, Mak jualan dekat mana?” tanyaku begitu
bakwan itu sudah sempurna bercokol di perutku. Kupandang sekeliling. Kalau Mak
Siti juga ikut jualan, biasanya dia mengambil tempat yang berbeda dengan Diah.
“Mak di rumah, Bang, kenapa?”
Masya Allah…
“Maksud Diah, Mak Siti tak ikut ke pasar?” Diah
menggeleng.
“Sebenarnya tadi mau ikut, tapi Diah larang
karena semalam badan Mak panas lagi.”
Astagfirullah, perasaanku jadi tidak enak.
“Diah, cepat kemasi semuanya. Kita pulang!”
ujarku setelah beberapa saat.
“Kenapa, Bang?” tanya Diah keheranan, namun
begitu dia tetap menuruti perintahku.
***
“Nak Zai…” Mak Siti berujar, lirih. Dia
menggenggam tanganku. “Nak Zai, waktu mak tidak lama lagi…”
“Mak, jangan bicara seperti itu.”
“Nak Zai…hanya Diahlah keluarga yang Mak miliki.
Dia tak punya siapa-siapa lagi. Mak harap…Nak Zai mau ….menjaganya.”
Ya Allah, kumohon….jangan ambil dulu nyawanya,
setidaknya sampai dia melihat rumah itu. Ya Allah…satu per satu bulir-bulir
bening mulai mengaliri pipiku. Aku sungguh menyesal, kenapa tadi aku tidak
langsung masuk ke rumah Mak Siti? Kenapa aku tidak memeriksa keadaan terkebih
dahulu? Kata Mak Siti dia mendengar panggilanku, tapi bibirnya tak sanggup
bergerak untuk menjawab, dan sewaktu aku pulang bersama Diah, kami dapati Mak
Siti tergeletak, pingsan. Rupanya dia berusaha keluar sewaktu mendengar
panggilan dariku.
“Nak Zai….mau kan?”
“Pasti, Mak. Diah… akan aman….. bersama kami.”
Aku menjawab terbata. Mak Siti tersenyum, dan beberapa saat kemudian barulah
kusadari itu adalah senyumnya yang terakhir.
“Dokterr…!” aku berteriak sekuatnya, suaraku
pasti menggema ke seluruh koridor rumah sakit. Seorang dokter dan seorang
suster masuk, juga Fat dan Diah yang tadi menunggu di luar.
Dokter itu menghela nafas, lalu menggeleng. Diah
yang tahu arti gelengan itu menjerit, histeris, memeluk Mak Siti. Fat pun
kulihat tak dapat menahan air matanya.
***
Epilog
Dua bulan setelah Mak Siti Meninggal dunia, Diah
menamatkan sekolahnya di SMA dan aku langsung menikahinya. Sampai saat ini,
setelah dua orang buah hati kami lahir, Diah tetap setia dengan gorengan
bakwannya. Bagaimanapun juga, bakwan-bakwan itu adalah bukti nyata akan cinta kami,
yang selalu terselip cinta pada setiap potongannya.
|
Langganan:
Postingan (Atom)
Popular Post
-
Terkadang cinta memang menyakitkan, tak selamanya cinta akan berjalan menyenangkan, seperti halnya apa yang telah saya posting dalam Kisa...
-
setia…??? hmm….!!! Teman…!! Setia adalah suatu perbuatan atau perasaan yang dilakukan atau dikendalikan oleh pikiran emosional seseo...
-
Inilah 99 Ciri Anak Abg Jaman Sekarang.! 1. rambut mohawck,emo, harajuku, britpop 2. stelean indies,rock and roll,ato kejepang2x...
-
Menjual barang dagangan sebagai profesi hidup itu sangat baik, bahkan amat dianjurkan oleh agama. Bagaimana jika ia menjual diri? Profe...
-
Assalamualaikum Wr. Wb. Sekarang Ana mau share catatan tentang " DERAJAT WANITA DALAM ISLAM " insya Allah bermanfaat, ana tuli...
-
Untuk Pemesana StaterPack Blackberry Tri silahkan : SMS : 08989398989 PIN BB : 2332D427
-
Menjalin hubungan dengan seorang pria, biasanya wanita mengambil kesimpulan hanya dari apa yang terlihat; yakni baik atau buruknya. T...
-
Lagi liat-liat situs Kaskus (dan ada beberapa penambahan dariku), terdapat hal yang cukup menarik dan membuatku tersenyum-senyum sendiri. ...
-
Dalam menanggapi persoalan yang kian rumit ini, saya berfikir secara matang dan bijaksana dan tidak ingin menilai sesuatu secara emosio...
-
Selamat Datang & Terima Kasih buat yang sudah gabung di TOKO CD & DVD Sejarah Islami, kami do'akan smoga dimudahkan urusannya ...
Lencana Facebook
SMS Gratis
125 x 125 Ad Section
Tatang Foam My Friends. Diberdayakan oleh Blogger.